
Jumat, 13 Maret 2009
*pengalaman mancing waktu kecil *(bagian pertama)
oleh : ii
Cerita ini terjadi saat orang belum mengenal internet, toko online dan sebagainya. Pesawat telpon rumah pun, adalah barang mewah saat itu. Kalau ditanya: ‘dapat ide untuk memancing dari mana?’ Mungkin ini datangnya dari cerita kawan di sebelah rumah. Yang saya ingat, adalah pengalaman pertama kali saya mancing waktu masih kecil dulu. Yang saya maksud dengan ‘dulu’ adalah sekitar tahun 1965. Belum ada toko didekat rumah yang khusus menjual peralatan mancing saat itu, dan kalaupun ada, bisa dipastikan saya tidak punya uang untuk membelinya.
Dengan bermodalkan benang jahit dan jarum pentul yang saya ‘comot’ dari mesin jahit milik ibu, saya mancing ikan sepat seukuran 1 atau 2 jari, yang sengaja di lepaskan di sumur belakang rumah supaya tidak ada jentik nyamuk disana. Pada masa itu, mudah bagi kita menemui sumur, yang biasanya berada di bagian belakang dari suatu rumah. Jarum pentul itu saya bengkok-kan perlahan, dengan bantuan alat seadanya. Waktu itu saya pakai tang ayah, dan lilin untuk memanaskan jarum. Entah berapa kali saya lupa memegang jarum yang panas itu dengan tangan, sehingga jari-jari saya melepuh di buatnya. Dengan ketekunan -yang sekarang hilang entah kemana- jarum pentul itu akhirnya berubah bentuk menjadi kail seperti yang sekarang kita kenal, atau.. yah.. setidaknya miriplah dengan itu.
Begitu kail buatan itu selesai, maka benang jahit putih milik ibu sekarang saya ikatkan dengan hati2 di ujung pentolan jarum. Tidak ada ikatan knot palomar, uni knot, atau apalah -yang dipakai oleh para pemancing jaman sekarang- yang saya ketahui saat itu. Hanya ikatan simpul mati biasa. Untuk pemberatnya, saya cari pecahan2 genteng atau serpihan2 semen bekas tembok yang sudah lepas, dan saya pukul perlahan dengan batu sehingga ujung2 sudutnya yang agak tajam untuk ukuran benang jahit, menjadi agak tumpul. Sebagai pelampung, saya sudah mengumpulkan beberapa potongan gabus bekas yang saya dapatkan dari kardus bekas radio.
Sekarang rangkaiannya.. dari teman bermain disebelah rumah saat itu, dia mengajarkan bagaimana merangkai semua itu, dan saya ikuti semua petunjuknya tanpa kecuali. Selesailah sudah peralatan mancing saya.
Nah sekarang, umpan!. Pergilah saya ke dapur untuk mengambil sedikit nasi putih yang masih panas. Satu persatu nasi putih itu saya masukkan dengan hati2 ke mata kail, sampai kira2 menutup 3/4 kail buatan tersebut. Sebagai catatan, bagian -masukkan nasi ke kail- lebih gampang menulisnya daripada mengerjakan nya.
Akhirnya semua sudah siap, dan hmm… alangkah bangganya saya dengan peralatan mancing itu!. Tanpa joran dan tanpa reel, untuk pertama kalinya saya siap mancing!. Benang di ulur kedalam sumur, dan ujungnya saya pegang dengan tangan. Terlihatlah pelampung bergoyang-goyang, dan huuuupp.. benang saya sentakkan. Dengan harap cemas, benang saya tarik keatas perlahan, dan terlihatlah kail kosong dibawah sana. Nasinya habis, tapi tak ada ikan!. Oh ya .. permukaan air sumur ini dalamnya kira-kira tiga meter dari batas atas semen di mana saya membungkuk kesana.
Terpaksa, upacara memasang nasi ke kail yang saya benci, di ulang lagi. Nyatanya, sampai mata ini berkunang-kunang di sore hari setelah berjuang ber-jam2 dengan posisi setengah membongkok, tak satu ikanpun bisa berhasil dinaikkan!.
Jam 5 sore adalah ujung batas waktu bermain saya waktu itu, sebelum saat harus mandi tiba. Permainan hari itu selesai, dan saya harus segera mandi jika tidak ingin kena hukuman. Peraturan di rumah saat itu: selepas jam 5 sore, anak-anak harus sudah dalam keadaan rapih, dan sudah mandi. Untuk urusan mancing, terpaksa harus di akui, hari ini jelas saya kalah!.
Selesai mandi, kegiatan2 lain segera menyusul; shalat, bikin PR, makan.. dan seterusnya. Walau semua itu saya jalankan, tapi pikiran tentang mancing ikan masih melekat dengan jelas. Kenapa tidak ada satu ekorpun ikan yang berhasil di dapat? Dimana salahnya? Apakah rangkaian nya, atau umpannya? Atau… atau…
Besoknya, selesai makan siang setelah pulang sekolah, acara mancing di sumur di ulangi lagi. Sekarang, dengan di temani kawan dari rumah sebelah. Dengan membawa peralatan mancingnya sendiri, kami mulai mancing. Hanya sebentar, kawan itu berhasil mengangkat ikan sepat seukuran hampir 2 jari dari dalam sumur. Haaa? .. dengan tersenyum dia kasih tau rahasianya: umpan nasi ternyata gampang lepas, dan hari itu dia sudah membawa beberapa ekor cacing sebagai gantinya.
Cacing?… hiii… jijik betul!. Dengan sabar, kawan itu mengajarkan cara memasang cacing ke kail, dan dengan amat sangat terpaksa, saya belajar memegang cacing. Sungguh, berat sekali perjuangan saat itu rasanya. Geli dan jijik, di tambah dengan bau khas cacing tanah saat di tusuk badannya dengan kail. Bau ini tak mungkin bisa saya lupakan. Dimanapun saya mencium bau ini, pasti akan saya kenali!.
Nah, sekarang pancing pun turun lagi, dan tidak sampai semenit kemudian ternyata kail saya berhasil mengangkat seekor ikan selebar hampir 2 jari dari dalam sumur!!. Teriakan kemenangan terdengar menggema dari dalam sumur, dan ternyata teriakan itu juga yang membawa celaka. Karena kaget, salah seorang kakak saya datang berlari-lari ke sumur, dan setelah melihat ternyata tidak ada terjadi apa2, maka marahlah beliau. Maklum, saat itu juga berlaku peraturan: jam 2 siang sampai jam 4 sore, semua anak2 seusia saya harus tidur siang. Dengan mata merah menahan tangis, saya lihat peralatan mancing kebanggaan saya di ambilnya dengan paksa.
Sampai sini dulu aja ceritanya yah.. soalnya mau nangis dulu…
Share artikel ini sekarang
*pengalaman mancing waktu kecil *(bagian ke empat) oleh : ii Anda pernah menunggu selama seminggu? Sungguh lama waktu berjalan. Rasanya sehari itu ada 48 jam, bukannya 24!. Setelah lelah menunggu, akhirnya hari minggu pun tiba. Nah, sekarang saya mulai memikirkan: apa lagi alasan untuk pergi ke rumah kakak saya pagi2 begini? Ternyata, urusan SIM (surat […]
Senin, 16 Maret 2009 *pengalaman mancing waktu kecil* (bagian ketiga) oleh : ii Ok, sekarang dengan gagang joran yang telah siap, kami tinggal menambahkan kolongannya. Hal ini seharusnya tidak begitu susah, karena ada si bapak tukang kayu yang ternyata siap membantu kami. Masalahnya cuma satu: bahan bakunya. Kawat untuk kolongan itu haruslah cukup kaku, seperti… […]
*pengalaman mancing waktu kecil *(bagian kedua) oleh : ii Setelah sekian tahun berlalu, waktu ikut bertandang ke rumah kakak, saya dapat teman baru. Namanya Salim. Entah dimana dia sekarang berada. Dari mulai main sepeda, main gundu, mengetapel burung, main layangan, berkelahi bersama, sampai akhirnya.. mancing lagi!. Dari dialah saya mengetahui bahwa ada toko kecil yang […]
Oleh: dr. Krisman Purba – Ketua ASPARPI 2025–2030 Asosiasi Pariwisata Pemancingan Indonesia (ASPARPI) hadir sebagai wadah yang mempersatukan insan pemancing, pelaku wisata, dan pegiat konservasi perairan dari seluruh penjuru Nusantara. Tujuan utama kami adalah meningkatkan kualitas pariwisata pemancingan Indonesia ke tingkat dunia—baik dari sisi edukasi, pelestarian, maupun inovasi ekowisata berbasis minat khusus. Kami percaya bahwa […]