
*pengalaman mancing waktu kecil *(bagian kedua)
oleh : ii
Setelah sekian tahun berlalu, waktu ikut bertandang ke rumah kakak, saya dapat teman baru. Namanya Salim. Entah dimana dia sekarang berada. Dari mulai main sepeda, main gundu, mengetapel burung, main layangan, berkelahi bersama, sampai akhirnya.. mancing lagi!. Dari dialah saya mengetahui bahwa ada toko kecil yang menjual kail dan kenurnya didekat rumah kakak saya disana. Kali berikut saya ke rumah kakak, uang simpanan di celengan saya bawa semua.
Dari rumah Salim kami bersepeda menyeberang ke daerah pasar rumput sekarang, dimana toko itu berada. Mencari toko itu sebetulnya tidak susah, tapi jangan di samakan dengan pasar rumput jaman sekarang!. Toko, atau mungkin lebih tepatnya warung kecil itu berada ditengah2 salah satu gang kecil di belakang daerah pasar rumput sekarang. Tanpa ingatan Salim yang bagus, rasanya mustahil kami menemukan warung itu, dan bisa pulang ke rumah kakak sesudahnya.
Penjualnya seorang bapak tua dengan kacamata yang mlorot ke tengah hidungnya. Suaranya kalau tidak salah ingat seperti terlalu banyak treble di banding bass nya. Cempreng!. Tapi tak disangka, dia bersedia mengajarkan bagaimana membuat rangkaian yang bagus, yang katanya lagi, jarang putus. Setengah dari warung itu berisi barang2 yang berhubungan dengan kegiatan mencari ikan, dan setengahnya lagi di isi dengan segala macam tembakau. Sungguh suatu kombinasi yang aneh!.
Dengan uang simpanan, saya beli 5 atau 6 kail (yg jelas tidak sampai 10 kail) berwarna hitam, pemberat, pelampung dan tidak lupa kenurnya yang berwarna putih. Merknya sudah lupa, tapi ada gambar orang memancing di gulungan kenurnya. Gulungan? sebetulnya tidak tepat di bilang gulungan. Kenur ini memang digulung, tapi tanpa kelosan apapun, seperti gulungan kawat nikelin yang kita kenal sekarang. Untuk menggulung kenur itu ke reel, rasanya diperlukan bantuan orang lain untuk memegangnya, kalau tidak mau kusut. Eh.. apa saya tadi tulis reel?..
Reel disini adalah kelosan dari bambu yang kami cari dan potong bersama. Setelah itu bambu di haluskan ujung2nya dengan amplas bekas yang didapat dari tukang kayu yg sedang mengerjakan sesuatu di rumah kakak. Kebetulan, tidak jauh dari rumah kakak, ada setumpuk batangan bambu, entah buat apa bambu2 itu tadinya. Dan disanalah kami berkeliaran mencari-cari batang bambu yang di anggap lurus dan bagus untuk di buat joran.
Salim, yang badannya lebih tinggi dari saya, segera menemukan bambu pilihannya dan mulai menggergajinya. Saya masih belum menemukan bambu calon joran saya. Satu saat, pada waktu mencari bambu itu, saya seakan melihat sesuatu yang gelap bergerak meluncur dengan cepat. Karena tidak begitu perduli, saya meneruskan pencarian bambu. Setelah menemukan bambu yang sekiranya ideal, saya mulai menggergaji bambu itu tanpa menyadari di ujung satunya lagi, sesuatu mulai marah karena tempatnya melingkar tergoyang2 karena upaya menggergaji bambu itu.
Salim, yang dengan tekun sedang menghaluskan gagang jorannya duduk tidak jauh dari saya. Tepat saat bambu itu hampir putus, ular menyerang. Baru saat itulah saya menyadari apa yang sudah saya lihat sebagai ‘bayangan gelap’ tadi. Entah karena kaget atau terpeleset, saya jatuh menimpa Salim, dan berusaha bangun dengan secepat-cepatnya. Sambil berteriak ‘ulaar.. ularrr!!’ saya lari. Salim juga segera lari dengan terpincang2.
Setelah jauh, dengan badan gemetar, kami berhenti. Salim terluka kakinya entah karena apa. Badannya pun sakit2 menjadi bantalan waktu saya jatuh tadi. Syukurlah kami selamat. Ada yang lucu: ternyata kami berdua rupanya lari sambil membawa joran masing2, tapi tidak membawa gergaji!.
Setelah menceritakan pengalaman tersebut ke tukang kayu si pemilik gergaji, maka dia sendiri yang pergi mencari gergaji itu. Kami hanya berani berdiri jauh dari tempat tumpukan bambu, dan berteriak2 memberi isyarat dimana kira2 gergaji itu tadi terlepas. Ular itu lenyap, entah pergi kemana.
Tukang kayu yang baik hati itu sekarang telah kembali dengan gergajinya, dan malahan membantu kami menghaluskan gagang joran masing2. Kalau diingat sekarang, sungguh manis kenangan itu. Hanya untuk membuat joran dari bambu, musti melewati sekian banyak masalah!.
Baiklah, hari ini rasanya sudah sore, dan seperti biasa, saya musti mandi dulu sebelum kena hukum!.
Share artikel ini sekarang
*pengalaman mancing waktu kecil *(bagian ke empat) oleh : ii Anda pernah menunggu selama seminggu? Sungguh lama waktu berjalan. Rasanya sehari itu ada 48 jam, bukannya 24!. Setelah lelah menunggu, akhirnya hari minggu pun tiba. Nah, sekarang saya mulai memikirkan: apa lagi alasan untuk pergi ke rumah kakak saya pagi2 begini? Ternyata, urusan SIM (surat […]
Senin, 16 Maret 2009 *pengalaman mancing waktu kecil* (bagian ketiga) oleh : ii Ok, sekarang dengan gagang joran yang telah siap, kami tinggal menambahkan kolongannya. Hal ini seharusnya tidak begitu susah, karena ada si bapak tukang kayu yang ternyata siap membantu kami. Masalahnya cuma satu: bahan bakunya. Kawat untuk kolongan itu haruslah cukup kaku, seperti… […]
Jumat, 13 Maret 2009 *pengalaman mancing waktu kecil *(bagian pertama) oleh : ii Cerita ini terjadi saat orang belum mengenal internet, toko online dan sebagainya. Pesawat telpon rumah pun, adalah barang mewah saat itu. Kalau ditanya: ‘dapat ide untuk memancing dari mana?’ Mungkin ini datangnya dari cerita kawan di sebelah rumah. Yang saya ingat, adalah […]
Oleh: dr. Krisman Purba – Ketua ASPARPI 2025–2030 Asosiasi Pariwisata Pemancingan Indonesia (ASPARPI) hadir sebagai wadah yang mempersatukan insan pemancing, pelaku wisata, dan pegiat konservasi perairan dari seluruh penjuru Nusantara. Tujuan utama kami adalah meningkatkan kualitas pariwisata pemancingan Indonesia ke tingkat dunia—baik dari sisi edukasi, pelestarian, maupun inovasi ekowisata berbasis minat khusus. Kami percaya bahwa […]